Sabtu, 21 Juni 2008

Pemerintah Harus Bertanggung Jawab Atas Kenaikan Harga!

Dalam hitungan hari selama bulan Maret dan April 2008 ini, harga sebagian besar barang keperluan sehari-hari melonjak tajam. Di beberapa pasar tradisional di Pekanbaru, misalnya, harga minyak goreng menembus Rp 13 ribu/kg, dari sebelumnya Rp 11 ribu/kg. Minyak goreng kemasan yang biasa dijual Rp 12 ribu/liter, kini dijual Rp 12.500/liter. Harga cabai merah sempat mencapai level tertinggi, yaitu mencapai Rp 40 ribu/kg, sementara sebelumnya Rp 20 ribu/kg. (Riau Pos, 6/3/ 2008).

Gula pasir pun mengalami lonjakan harga dan sampai sekarang masih berlanjut; dari harga eceran Rp 6.800/kg, lalu naik menjadi Rp 7.000/kg, dan kemudian saat ini dijual Rp 7.400/kg. (Wapada Online, 3/4/2008).

Harga telur ayam di sejumlah pasar tradisional di Bandung juga naik. Harga telur menjadi Rp 12.800/kg, padahal beberapa pekan sebelumnya harganya masih Rp 12.000/kg. (Tribunjabar, 6/42008). Tak ketinggalan pula harga daging ayam. Di sejumlah pasar tradisional di Yogyakarta, misalnya, kenaikan harga ayam mengakibatkan omzet penjualan turun hingga 50 persen. Bahkan beberapa pedagang mengaku sering tidak mengantongi keuntungan sama sekali. Di Pasar Bringharjo, harga daging ayam potong masih dalam kisaran Rp 16.500/kg, padahal minggu sebelumnya hanya Rp 15 ribu/kg. (MetroTV, 7/4/2008).

Sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin itulah istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisi rakyat kecil. Sudahlah untuk barang-barang kebutuhan pokok semakin lama semakin mahal, rakyat pun harus antri berjam-jam bahkan berhari-hari untuk mendapatkan bahan-bahan untuk memasak kebutuhan pokok, yakni minyak tanah. Di Makasar, dalam sebuah acara live di TV swasta nasional, seorang ibu bercerita bagaimana kelangkaan minyak tanah terjadi di sana. Hanya untuk mendapatkan minyak tanah 5 liter, ia harus berebut mendapatkan ‘kupon’ jatah pengambilan. Permasalahan belum selesai, ibu tadi harus rela antri panjang untuk mendapatkan jatah minyak tanah. Bahkan sering terjadi, karena tidak kebagian jatah hari itu, banyak yang harus antri lagi hari berikutnya. Kondisi ini merata terjadi hampir di seluruh daerah.

Lalu, seiring dengan kebijakan Pemerintah untuk mengkonversi pemakaian minyak tanah ke gas, di pasaran harga tabung gas dan isinya justru meroket. Di beberapa daerah di Jakarta, misalnya, tabung dan isinya yang 12 kg mencapai Rp 700 ribu-750 ribu. Sudah begitu, barangnya pun sulit didapat (Kompas, 15/4/2008).

Alhasil, bukan hanya kelangkaan minyak tanah saja yang semakin merajalela, namun juga gas. Mahal dan langkanya BBM dan gas saat ini jelas karena BUMN-BUMN yang bergerak dalam sektor energi—yang nyata-nyata menguasai hajat hidup orang banyak—dijual atas nama privatisasi kepada para pemilik modal (kapitalis) asing yang berkolaborasi dengan para kompradornya.


Menambah Utang Negara?

Melihat kondisi di atas, apa yang dilakukan Pemerintah justru jauh dari harapan. Di tengah badai krisis ini, Pemerintah malah berkomitmen untuk menambah utang luar negerinya. Pemerintah dan Panitia Anggaran DPR menyepakati untuk menambah target utang luar negeri dalam menutup defisit APBN Perubahan 2008 dari Rp 19.1 triliun jadi Rp 26.4 triliun. Sumber utamanya diharapkan akan diperoleh dari tiga kreditor utama Indonesia: Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan Pemerintah Jepang. Pinjaman yang dicari adalah utang paling mudah dengan persyaratan paling ringan. Upaya untuk mencari utang luar negeri akan dimulai pada 11 April 2008, dalam pertemuan Bank Dunia di Washington, Amerika Serikat. (Pajak.go.id, 10/4/2008)

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulvani Indrawati juga akan mengusahakan pinjaman pada pertemuan Bank Pembangunan Asia di Madrid, Spanyol. “Kami akan mencari dukungan dari lembaga-lembaga keuangan itu, terutama dikaitkan dengan defisit APBN-P 2008 yang bertambah…,” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan, Anggito Abimanyu. (Kompas, 10/4/2008).

Upaya Pemerintah menambah utang luar negeri sebenarnya akan membawa Indonesia pada jebakan utang yang semakin dalam. Selain itu, bukankah harga-harga semua kebutuhan pokok yang melonjak tajam adalah akibat persyaratan dari utang kepada IMF yang mengharuskan dicabutnya subsidi-subsidi terhadap kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat?


Pemerintah Wajib Mensubsidi Rakyat

Selain karena sektor energi, khususnya BBM dan gas, yang dikuasai swasta dan asing, yang turut menambah beban rakyat adalah kebijakan pencabutan subsidi, khususnya BBM, oleh Pemerintah. Subsidi untuk rakyat bahkan seolah kebijakan yang harus segera ’dikubur’ oleh Pemerintah di tengah terus membengkaknya defisit APBN saat ini akibat kenaikan harga minyak dunia.

Dalam sistem ekonomi kapitalis yang semakin liberal saat ini, subsidi memang merupakan kebijakan yang tidak populer bahkan dianggap kontraproduktif dengan semangat liberalisasi ekonomi. Indonesia yang saat ini tampak semakin bergerak ke arah ekonomi neoliberal sepertinya semakin berhasrat untuk mencabut subsidi ini. Apalagi besarnya subsidi sering dituduh sebagai penyebab terjadinya defisit APBN.

Jika ekonomi neoliberal cenderung ’mengharamkan’ subsidi, Islam justru sebaliknya. Islam memandang subsidi bukan hanya boleh, bahkan dalam kondisi tertentu wajib atas Pemerintah untuk mensubsidi rakyatnya. Subsidi dapat dianggap salah satu cara (uslûb) yang bisa dilakukan negara (Khilafah), karena termasuk pemberian harta milik negara (i’thâ’u ad-dawlah) kepada individu rakyat. Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah memberikan harta dari Baitul Mal (Kas Negara) kepada para petani di Irak agar mereka dapat mengolah lahan petanian mereka. (An-Nabhani, 2004:119).

Atas dasar itu, negara bisa memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai produsen, seperti subsidi pupuk dan benih bagi petani, atau subsidi bahan baku kedelai bagi perajin tahu dan tempe, dan sebagainya. Bisa juga negara memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai konsumen seperti subsidi pangan (sembako murah), atau subsidi minyak goreng, dan sebagainya.

Subsidi boleh juga diberikan negara untuk sektor pelayanan publik (al-marafiq al-’ammah) yang dilaksanakan oleh negara misalnya: (1) jasa telekomunikasi (al-khidmat al-baridiyah) seperti telepon, pos, fax, internet; (2) jasa jasa transportasi umum (al-muwashalat al-’ammah) seperti kereta api, kapal laut, dan pesawat terbang. (Zallum, 2004: 104).

Subsidi untuk sektor energi (seperti BBM dan listrik) dapat juga diberikan negara kepada rakyat. Namun perlu dicatat, bahwa BBM dan listrik dalam Islam termasuk barang milik umum (milkiyah ‘âmmah). Dalam distribusinya kepada rakyat, Khalifah tidak terikat dengan satu cara tertentu. Khalifah dapat memberikannya secara gratis, atau menjual kepada rakyat dengan harga sesuai ongkos produksi, atau sesuai harga pasar, atau memberikan kepada rakyat dalam bentuk uang tunai sebagai keuntungan penjualannya, dan sebagainya. Di sini subsidi dapat juga diberikan agar BBM dan lisrik yang didistribusikan itu harganya semakin murah dan bahkan gratis jika memungkinkan. (Zallum, 2004: 83).

Semua subsidi yang dicontohkan di atas hukum asalnya boleh/mubah. Semua ini adalah hak Khalifah berdasarkan pertimbangan syariah sesuai dengan pendapat dan ijtihadnya demi kemaslahatan rakyat. (An-Nabhani, 2004: 224).

Namun, dalam kondisi terjadinya ketimpangan ekonomi, pemberian subsidi yang asalnya boleh/mubah ini menjadi wajib hukumnya, karena mengikuti kewajiban syariah untuk mewujudkan keseimbangan ekonomi (at-tawazun al-iqtishadi) (Thabib, 2004: 318; Syauman, t.t.: 73). Ini karena Islam telah mewajibkan beredarnya harta di antara seluruh individu dan mencegah beredarnya harta hanya pada golongan tertentu:

كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ

Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian. (QS al-Hasyr [59]: 7).

Nabi saw. pernah membagikan fai` Bani Nadhir (harta milik negara) hanya kepada kaum Muhajirin, tidak kepada kaum Anshar, karena Nabi saw. melihat ketimpangan ekonomi antara Muhajirin dan Anshar. (An-Nabhani, 2004: 249).

Karena itu, di tengah naiknya harga minyak mentah dunia sekarang dan lonjakan harga-harga kebutuhan pokok rakyat, subsidi bagi rakyat bukan hanya boleh/mubah, namun sudah menjadi wajib hukumnya atas Pemerintah, agar ketimpangan di masyarakat antara kaya dan miskin tidak semakin lebar.

Khusus untuk sektor pendidikan, keamanan dan kesehatan, Islam bahkan telah mewajibkan negara menyelenggarakan pelayanan ketiga sektor tersebut secara cuma-cuma bagi rakyat (Abdul Ghani, 2004).


Wahai Kaum Muslim:

Sudah saatnya negeri ini melepaskan diri dari berbagai kebijakan ekonomi neoliberal—seperti privatisasi, utang luar negeri, pencabutan subsidi, dll—yang nyata-nyata merugikan rakyat banyak. Sudah saatnya negeri Indonesia yang kaya-raya ini diatur oleh sistem ekonomi yang berbasis syariah, yang akan menjamin kemakmuran, kesejahteraan pemerataan dan keadilan bagi masyarakat. Itulah sistem ekonomi Islam; sebuah sistem yang hanya mungkin ditegakkan dalam wadah sistem politik dan pemerintahan Islam. Itulah Khilafah Islamiyah yang menerapkan syariah Islam secara total dalam kehidupan.

Ingatlah, penerapan syariah Islam secara total dalam kehidupan adalah wujud nyata ketakwaan kita kepada Allah SWT. Hanya dengan itulah keberkahan hidup akan dirasakan oleh semua:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Andai saja penduduk bumi beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan menurunkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu sehingga Kami menyiksa mereka karena perbuatannya itu (QS al-A‘raf [7]: 96).

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []

sumber www.hizbut-tahrir.or.id

BIAYA KULIAH MAKIN MUAAAHHAAALLL

tarr materinye lage dibuat dulu hehe

admin